Sabtu, 18 Februari 2012

Kapak perunggu


Kapak perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran. Ada yang kecil dan bersahaja; ada yang besar dan memakai hiasan; ada yang pendek lebar; ada yang bulat, dan adapula yang panjang satu sisinya. Yang panjang satu sisinya disebut Candrasa. Di lihat dari kegunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi sebagai alat upacara, benda pusaka dan sebagai pekakas atau alat untuk bekerja. Secara Tipologik, kapak perunggu digolongkan menjadi dua, yaitu: kapak corong dan kapak upacara. Pada umumnya kapak perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai lubang seperti corong untuk memasukan kayu sebagai tangkai. Setelah diberi tangkai kayu, bentuknya menyerupai kaki orang yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”.
Ada pula kapak perunggun yang diberi hiasan dan tanpa hiasan. Pada candrasa yang ditemukan di daerah Yogyakarta, di dekat tungkainya terdapat lukisan yang sangat menarik yaitu seekor burung terbang memegang sebuah candrasa yang tangkainya sangat pendek. Sedangkan teknik pembuatan kapak perunggu atau corong, menggunakan teknik a cire perdue. Karena di dekat Bandung ditemukan cetakan-cetakan dari tanah bakar untuk menuangkan kapak corong. Dari hasil penyelidikan, menyatakan bahwa yang dicetak adalah bukan logamnya, melainkan kapak. Kapak perunggu untuk pertama kalinya ditemukan oleh G. E. Rumpius berasal dari awal abad ke-18.
Daerah-daerah temuan kapak perunggu di Indonesia adalah Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah dan Selatan, Bali, Flores, pulau Roti dan Irian Jaya dekat Danau Sentani. Kapak perunggu atau corong yang ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar dan Irian dekat Danau Sentani memiliki beragam jenis.

Kapak Corong


Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia adalah kapak corong dan nekara. Kapak corong banyak sekali jenisnya, ada yang kecil bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, bulat dan ada pula yang panjang sisinya atau disebut candrana. Di lihat dari bentuknya, kapak-kapak corong tersebut tentunya tidak digunakan sebagaimana kegunaan kapak, melainkan sebagai alat upacara kebesaran. Hal ini menunjukkan bahwa kapak corong peninggalan zaman perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki nilai-nilai sakral atau religius. Bentuk-bentuk corong tersebut ditemukan di Irian Barat dan sekarang disimpan di Belanda. Sedangkan kapak yang digunakan sebagai alat upacara ditemukan pada tahun 1903 oleh ekspedisi Wichman di Sentani, kemudian disimpan dalam musium lembaga kebudayaan Indonesia di Jakarta.

Gerabah


Pada masa perundagian, pembuatan barang-barang gerabah makin maju dan kegunaan gerabah semakin meningkat. Meskipun barang-barang dari perunggu dan besi memiliki peranan sangat penting, akan tetapi gerabah pun masih sangat penting dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh alat-alat yang terbuat dari logam. Pada umumnya gerabah dibuat untuk kepentingan rumah tangga sehari-hari, selain itu gerabah seperti tempayan digunakan sebagai tempat bekal kubur, tempat sesaji, tempat untuk menempatkan tulang-tulang, tempat untuk menyimpan ari-ari bayi yang baru lahir. Cara pembuatan  gerabah pada masa perundagian lebih maju jika dibandingkan pada masa bercocok tanam. Dengan adanya kebiasaan ini menunjukan bahwa teknik pembuatan gerabah lebih tinggi. Bukti-bukti peninggalan benda-benda gerabah ditemukan di Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sapakka (Sulawesi Tengah) dan sekitar bekas danau Bandung. Di Indonesia penggunaan roda putar dan tatap batu dalam pembuatan barang gerabah berkembang lebih pesat dalam masa perundagian (logam), bahkan di beberapa tempat masih dilanjutkan sampai sekarang.  Dari temuan benda-benda gerabah di Kendenglembu dapat diketahui tentang bentuk-bentuk periuk yang kebulat-bulatan dengan bibir yang melipat ke luar. Menurut dugaan para ahli, gerabah semacam itu dibuat oleh kelompok petani yang selalu terikat dalam hubungan sosial ekonomi dan kegiatan ritual. Karena teknik pembuatan gerabah lebih mudah memberi bentuk maupun seni hias.  Selain ditemukan barang-barang gerabah, di Kalimantan Tenggara (Ampah) dan Sulawesi Tengah (Kalumpang, Minanga Sipakka) ditemukan pula alat pemukul kulit kayu dari batu. Kagunaan alat ini ialah untuk menyiapkan bahan pakaian dengan cara memukul-mukul kulit kayu sampai halus. Alat pemukul kulit kayu sekarang masih digunakan di Sulawesi.  Di desa Buni, Bekasi, Jawa Barat ditemukan gerabah dari masa perundagian, bersama-sama dengan tulang-tulang manusia. Selain gerabah, ditemukan pula beliung persegi, barang-barang dari logam dan besi. Warna gerabah yang ditemukan adalah kemerah-merahan dan keabu-abuan. Gerabah juga ditemukan di Bogor (Jawa Barat), Gilimanuk (ujung barat pulau Bali), Kalumpang (Sulawesi Tengah), Melolo (Sumba), dan Anyer.

KEBUDAYAAN DONGSON


Kebudayaan Dongson berasal dari salah satu nama daerah di Tonkin (Vietnam). Di Indonesia, penggunaan logam telah dilakukan sejak beberapa abad sebelum Masehi, yaitu pada tahun 500 SM Pengolahan logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada pembagian kerja yang baik, masyarakatnya sudah teratur dan peleburan logam merupakan teknik yang tinggi. Kebudayaan Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Indonesia. Sehingga nekara perunggu banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, dan Maluku Selatan, Makalaman dan Sangeng dekat Sumba, Kepulauan Kei.
Benda-benda perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki persamaan dengan yang ditemukan di Dongson, baik mengenai bentuk dan ragam hiasnya. Dari kesamaan tersebut sehingga muncul dugaan, bahwa dalam pengembangan budaya perunggu di Indonesia terdapat hubungan dengan kebudayaan perunggu di Dongson (Vietnam). Dengan demikian muncul pendapat bahwa kebudayaan perunggu berasal dari daratan Asia.
Pada masa ini muncul kerajinan seni perhiasan, benda-benda upacara, dan benda-benda keperluan sehari-hari. Bahan yang digunakan untuk kerajinan itu adalah batu, kulit, kerang, tanah liat, perunggu, besi, emas, dan kaca. Dari bahan-bahan yang berbeda tersebut, maka terdapat perbedaan tingkat teknologi maupun keterampilan pembuatannya. Semula teknologi pembuatan alat-alat keperluan sehari-hari tersebut dilakukan dengan cara pengurangan, kemudian berkembang dengan teknologi tuang, penambahan dan percampuran.
Jenis perhiasan yang dikenal pada masa itu adalah gelang, bandul kalung, dan manik-manik. Adapun benda-benda upacara berupa nekara, kapak perunggu, senjata besi, dan gerabah. Tentu saja benda-benda itu tidak hanya mempunyai fungsi estetis dan religius saja. Akan tetapi, juga dapat berfungsi praktis, seperti untuk alat tukar dan alat bantu kegiatan manusia sehari-hari.
Nekara sebagai hasil dari seni kerajinan, mempunyai bentuk unik dengan pola hias yang kompleks. Bentuk nekara umumnya tersusun dalam tiga bagian. Bagian atas terdiri dari bidang pukul datar dan bagian bahu dengan pegangan. Bagian tengah merupakan merupakan silinder dan bagian bawah berbentuk melebar. Pola hias yang terdapat di nekara ini pada umumnya berbentuk pola hiasgeometrik dengan beberapa variasinya, misalnya pola hias tersusun, pola hias lilin, dan pola hias topeng. Nekara perunggu yang berukuran kecil dan ramping disebut moko.
Benda-benda perunggu hasil seni kerajinan adalah kapak perunggu dengan bermacam-macam, seperti jenis ekor burung seriti, jenis pahat bertangkai. Sedangkan daerah penemuannya adalah dipulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Selayar, Bali, flores, Maluku, Timor-Timur sampai Irian Jaya. Di antara semua temuan kapak itu terdapat kapak yang mempunyai pola hias yang sangat indah, seperti kapak yang ditemukan di Pulau Roti, berbentuk topeng dengan tutup kepala yang menyerupai kipas. Begitu juga kapak jenis candrasa yang ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki pola hias geometrik pilin, garis-garis, dan pola tangga.
Ketrampilan yang dikenal pada masa perundagian adalah kepandaian melebur dan menuangkan logam dengan teknik yang tinggi. Logam dipanaskan terlebih dahuu agar mencapai titik lebur, kemudian dicetak menjadi bermacam-macam jenis pekakas atau benda lain yang diperlukan. Sedangkan teknik pembuatan benda-benda perunggu ada dua macam, yaitu dengan cetakan setangkup (bivalve) dan cetak lilin (a cire perdue).

KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH


Pusatnya di pegunungan Bacson dan propinsi Hoabinh, dekat Hanoi, Vietnam. Ciri-cirinya adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran satu kepalan sehingga bagian tepinya menjadi sangat tajam. Hasil penyerpihan menunjukkan berbagai bentuk, seperti lonjong, segi empat, dan ada yang bentuknya berpinggang. Di  wilayah Indonesia, alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Papua, Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Penyelidikan terhadap kjokkenmoddinger (bukit kerang hasil sampah dapur) oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels tahun 1925, ditemukan kapak genggam Sumatra (Kapak Sumatralit), kapak pendek (hache courte), batu penggiling (pipisan), ujung mata panah, flakes, dan kapak Proto Neolitikum.
Ras Papua Melanesoid kehidupannya sudah setengah menetap, sedangkan cara memenuhi kebutuhan makan dengan berburu, dan bercocok tanam sederhana. Gua menjadi tempat tinggal seperti layaknya rumah, sehingga pada bagian dapurnya terdapat bukit sampah. Ras ini merupakan pendukung kebudayaan Mesolitikum yang sudah mengenal kesenian, seperti lukisan mirip babi hutan yang ditemukan di Gua Leang-Leang (Sulawesi) yang memuat gambar binatang dan cap telapak tangan.
Mayat dikubur dalam gua atau bukit kerang dengan sikap jongkok, beberapa bagian mayat diolesi dengan cat merah. Merah adalah warna darah, tanda hidup, dengan maksud agar dapat mengembalikan kehidupannya sehingga dapat berdialog.
Alat-alat batu jenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan Medan (Sumatera), lembah Bengawan Solo (Jawa Tengah). Alat tersebut diperkirakan dipergunakan oleh jenis Pithecanthropus erectus di Trinil, Jawa Timur.Peralatan dibuat dengan cara yang sederhana, belum diserpih dan belum diasah.

Jumat, 17 Februari 2012

SYAIR LAGU KERONCONG


MAWAR SEKUNTUM

INTRO…Biola…. Flute
1.      DIKALA CAHYA SENJA KEMERAH-MERAHAN….
      BERTIUP ANGIN BASAH MERAYU KESUMA
INTERLUD I …. Flute
INTERLUD 2 …. Biola
REFF :      KURENUNGKAN MAWAR KESUMA
                  SANJUNGAN ASMARA HATIKU SELAGI RINDU
                  MERINDUKAN KASIH DARA SUCI INGIN BERSAMA BAHAGIA
INTERLUD I …. Flute
2.   BILAKAH KUNCUP MAWAR SEGAR INDAH MEKAR
      LAMA SUDAH AKU MENANTI INGIN MEMETIK SEKUNTUM
INTERLUD I …. Flute…. Kembali ke 1…. INTERLUD 2 …. Biola…. REFF….2…. Selesai


TELAGA SARANGAN
INTRO…. Flute bersama Biola
1.   TEDUH SUNYI DAMAI TENANG TELAGA SARANGAN
      INDAH BUKAN BUATAN
      EMANDANGANNYA UNTUK BERTAMASYA
2.   TEMPAT MARGA SATWA MANDI BERKECIMPUNG RIANG
      BEBAS MENGHIAS DIRI
      BERKICAU MURAI DITEPIAN TLAGA
REFF  :     KOLAM AIR CIPTAAN TUHAN
                  BERAGAR BUKIT-BUKIT RIMBA
                  TEMPAT INSAN DATANG
                  UNTUK MENGHIBUR LARA
3.   DIKAKINYA GUNUNG LAWU DISITU LETAKNYA
      KAGUM AKU MEMANDANG
      KEINDAHANNYA OH RAHASIA ALAM
INTERLUD….Flute…. Kembali ke REFF…. 3…. Selesai
 
SEKUNTUM BUNGA
INTRO…. Biola…. Flute
1.   SEKUNTUM BUNGAN DIPUNCAK GIRI
      KUPANDANG JAUH BERSERI
      KAU MELAMBAI DITIUP BANYU
      SEMERBAK MEWANGI
INTERLUD…. Flute
2.   INGIN HATIKU MENDEKAT
      MEMBELAI SAYANG NAMUN APALAH DAYA
      KAKIKU BERIJAK DIANTARA
      BUKIT-BUKIT YANG CURAM
INTERLUD…. Biola
3.   OH MANISKU-MANISKU RINDU ADAMU
      KASIHKU JAUH DISEBRANG SANA
      BILA KAU BERTEMU
INTERLUD…. Biola…. Flute…. Kembali ke1…. 2….3…. Selesai


SAMPUL SURAT
INTRO…. Flute
1.   SEPULUH TAHUN YANG TELAH LALU
      DIWAKTU PAGI YANG PERMAI
      DATANGLAH SEPUCUK SURAT YANG
      TELAH LAMA KUNANTIKAN
2.   BETAPA RIANG RASA HATIKU
      TAK DAPAT KUCERITAKAN
      SEGERA KUBUKA SAMPULNYA
      DENGAN PENUH PENGHARAPAN
REFF  :     TETAPI HARAPANKU DISAAT ITU KECEWA
                  YANG KUTRIMA HANYALAH SAMPUL KOSONG BELAKA
3.   WALU HATIKU REMUK REDAM
      SAMPULNYA KUSIMPAN JUGA
      AGAR JADI KENANG-KENANGAN
      SELAMA HIDUP DIDUNIA
            INTERLUDE…. Biola…. Kembali ke REFF…. 3…. Selesai